Definisi Pengertian Etika Bisnis Menurut Para Ahli
Menurut Velasques (2002)
Etika bisnis
merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi dan perilaku bisnis.
Menurut Steade
et al (1984:701)
Etika bisnis adalah
standar etika yang berkaitan dengan tujuan dan cara membuat keputusan bisnis.
Menurut Hill dan jones (1998)
Etika bisnis merupakan
suatu ajaran untuk membedakan antara salah dan benar guna memberikan pembekalan
kepada setiap pemimpin perusahaan ketika mempertimbangkan untuk mengambil
keputusan strategis yang terkait dengan masalah moral yang kompleks.
Menurut Sim (2003)
Etika adalah istilah filosofis yang berasal dari “etos”,
kata Yunaniyang berarti karakter atau kustom. Definisi erat dengan kepemimpinan
yang efektif dalam organisasi, dalam hal ini berkonotasi kode organisasi
menyampaikan integritas moral dan nilai-nilai yang konsisten dalam pelayanan
kepada masyarakat.
Menurut Bertens
Bertens
(2000:36) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut business
ethics. Dalam bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika perusahaan) dan
dalam bahasa Jerman Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu
dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai corporate ethics (etika
korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau”etika ekonomi”
(jarang dalam bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman
Wirtschaftsethik). Ditemukan juga nama management ethics atau managerial ethics
(etika manajemen) atau organization ethics (etika organisasi).
Menurut Yosephus
Yosephus
(2010:79) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethics
(etika terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan
prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang ekonomi,
khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah perilaku
moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.
Pengertian
Etika Bisnis
Pengertian Etika Bisnis secara
sederhana adalah : cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup
seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri
dan juga masyarakat. Semuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis
secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada
kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat itu sendiri.
Etika bisnis dalam perusahaan
memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang
kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan
nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan
strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh
budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen.
Macam-macam
Etika
Etika
terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi
konsep etika), etika
normatif (studi penentuan nilai etika),
dan etika
terapan (studi penggunaan
nilai-nilai etika).
Adapun Jenis-jenis
Etika adalah sebagai berikut:
1. Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan
sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang
dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari
filsafat; etika lahir dari filsafat.
2. Ada dua sifat etika, yaitu:
a.
Non-empiris
Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris
adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat
tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah
menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika.
Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual
dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.
b.
Praktis
Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang
ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika
tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”.
Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Etika
tidak bersifat teknis melainkan reflektif, dimana etika hanya menganalisis tema-tema pokok
seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat
teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya.
3. Etika Teologis
Terdapat dua hal-hal yang berkait dengan etika
teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan
setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika
teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur
di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan
sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.
Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika
teologis.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang
unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang
dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat
memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
Teori Etika Bisnis
Ada
beberapa teori tentang etika bisnis seperti yang diungkapkan oleh Yosephus
(2010) sebagai berikut :
a.
Teori
Kebahagiaan
Teori kebahagiaan
mencakup hedonisme dan utilitarisme. Baik hedonisme maupun utilitarisme
sama-sama merupakan teori etika normatif yang mempersoalkan tujuan hidup
manusia. Secara umum, baik penganut hedonisme maupun utilitarisme sependapat
bahwa kebahagiaan merupakan satu-satunya tujuan hidup semua manusia, maka
prinsip pokok yang mendasari setiap perilaku manusia adalah bagaimana mencapai
kebahagiaan sebagai satu-satunya tujuan hidup.
b.
Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Persoalnnya berguna atau bermanfaat untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan seperti itu, kaum utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau tindakan itu.
Utilitarisme berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Persoalnnya berguna atau bermanfaat untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan seperti itu, kaum utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau tindakan itu.
Sebagai teori etika,
utilitarisme sering disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagian
terbesar. Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan,
tergantung apakah kriteria utilitaristik itu ditetapkan pada tindakan atau pada
peraturan.
c.
Hedonisme
Hedonism berasal
dari kata hedone dalam bahasa Yunani yang berarti ”nikmat atau kegembiraan”.
Sebagai paham teori moral, hedonisme bertolak dari asumsi dasar bahwa manusia
hendaknya berperilaku sedemikian rupa agar hidupnya bahagia. Dengan singkat
namun tegas, kaum hedonisme merumuskan : “carilah nikmat dan hindarilah rasa
sakit!”. Berdasarkan rumusan ini, bagaimana hedonism (terutama Aristippos dan
Epikuros) memaknai hidup. Bagi mereka hidup adalah upaya menjauhi rasa sakit
dan mendekatkan diri pada rasa nikmat.
Motivasi yang paling
kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur, seperti: penegakan kebenaran dan
keadilan serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran iman, bahwa dalam
melakukan kegiatan apapun juga secara kodrati manusia selalu tergerak mencari
dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan diri dan kemunafikan jika ada
orang yang mengatakan segala kegiatannya ditunjukkan demi cita-cita luhur atau
demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham hedonism
psikologis, manusia itu pada dasarnya sangat egois karena segala tindakannya
hanya ditunjukkan untuk mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri.
d.
Teori
Kewajiban (deontologisme)
Teori deontology
justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib dan tidaknya
perbuatan tersebut dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istilah deontology
berarti kewajiban atau apa yang wajib dilakukan. Sistem atau teori moral ini
pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerman, Immanuel Kant (1724-1904).
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya, hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya.
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya, hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya.
e.
Teori
Keutamaan (virtue ethics)
Apapun pekerjaan dan
profesinya selalu ingin menjadi orang menjadi kuat secara moral yang berarti
memiliki kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup bertindak sesuai
dengan apa yang diyakini sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat dan
mantap secara moral disebut “keutamaan moral”.
Model
Etika Dalam Bisnis
Carroll
dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga
tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan
etika dalam bisnisnya.
1.
Immoral Manajemen
Immoral manajemen
merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan
prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada
umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik
dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas
bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas
untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau
kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang
disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan
bisnisnya.
2.
Amoral Manajemen
Tingkatan kedua
dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen.
Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini
sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis
lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja
berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer
yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat
sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain.
Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah
aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini
mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan
dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal
manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku,
dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe
manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami
ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja
melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka,
misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini
terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita,
tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari
pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono
(1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis
dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar
pemikirannya sebagai berikut :
3.
Moral Manajemen
Tingkatan
tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah
moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas
diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan
aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan
mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip
etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini
menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang
dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam
komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang
berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka
patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi
dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu
melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis
yang diambilnya.
Perkembangan Etika Bisnis
Berikut perkembangan etika bisnis menurut Bertens
(2000):
1. Situasi Dahulu
Pada awal
sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki
bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan
membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan: tahun 1960-an
ditandai
pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi
mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan).
Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu
dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business
and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate
social responsibility.
3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an
sejumlah
filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis
dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunia bisnis di AS.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an
di Eropa
Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun
kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta
sekolah bisnis yang disebutEuropean Business Ethics Network (EBEN).
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an
tidak
terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh
dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics,
and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.
Referensi :
0 Response to "Tugas 2 Etika Bisnis"
Posting Komentar